Sebuah Kritik terhadap Feodalisme Jawa

DSC_2716

Novel tidak melulu sebagai sebuah hasil imajinasi penulisnya. Meskipun bersifat fiksi, novel dapat kita gunakan sebagai alat untuk memahami tatanan sosial kemasyarakatan lewat dunia kesusastraan. Apa yang ditulis Suryakenchana Omar tersebut dalam esainya yang berjudul The Javanese Society of Pramoedya’s Gadis Pantai memang benar. Apalagi jika novel tersebut adalah karya penulis sekelas Pramoedya Ananta Toer (Pram). Pram memang terkenal sebagai seorang penulis yang secara realistis memotret kehidupan masyarakat pribumi dalam karya-karyanya. Tema-tema karyanya yang humanis, memperjuangkan persamaan derajat manusia, dan menentang keras sistem feodalisme membuat karya-karyanya bak pisau bermata dua. Berkat karya-karyanya tersebut dia memperoleh berbagai penghargaan internasional dan bahkan satu-satunya sastrawan Indonesia yang mampu menembus kandidat peraih Nobel Sastra. Tapi, karena pemikiran-pemikiran dan idealisme yang dituangkan ke dalam karyanya pula dia lebih akrab dengan penjara dalam sejarah kehidupannya.

Roman Gadis Pantai ini adalah salah satu karya Pram yang menggambarkan tatanan sosial kemasyarakatan Jawa yang masih terbelenggu sistem feodalisme. Sejatinya roman ini adalah sebuah trilogi, tapi dua buku lanjutan roman ini lenyap karena trilogi ini juga menjadi korban vandalisme angkatan darat. Andai Universitas Nasional Australia tidak mendokumentasikan dan mengirimkannya kepada Pram lewat Savitri P. Scherer, bisa dipastikan kita tidak akan pernah membaca roman Gadis Pantaiini. Meski roman ini bukanlah sebuah karya yang utuh, tapi masih sangat layak untuk kita baca dan cermati.

Mengambil latar di daerah pesisir pantai utara Jawa bernama Rembang pada awal abad XX, roman ini menceritakan kisah seorang gadis berusia empat belas tahun bernama Gadis Pantai. Pada usia tersebut Gadis Pantai diperistri oleh seorang priyayi setempat yang dalam roman ini disebut sebagai Bendoro. Tidak seperti di zaman sekarang ini yang menabukan pernikahan di usia dini, pada zaman tersebut pernikahan di usia dini merupakan hal yang lumrah dalam tatanan kemasyarakatan Jawa. Sebab pada masa itu seorang gadis sudah layak untuk dinikahkan atau belum bukan dilihat dari usianya, tapi dilihat dari perkembangan biologisnya (sudah mengalami menstruasi atau belum). Hal ini dilukiskan Pram dalam petikan dialog pada halaman 23 berikut:

Dengan wajah pucat kepala kampung akhirnya muncul kembali. Sekarang ia tak membawa keris lagi. Langsung ia menatap emak, “Celaka,” desisnya.
Sekaligus emak jadi pucat. “Mengapa?” tanyanya megap-megap.
“Kau tak pernah bilang, gadismu itu sudah haid apa belum?!”

Sejak itu kehidupan Gadis Pantai berubah drastis. Setelah pernikahan tersebut Gadis Pantai sering dipanggil sebagai Mas Nganten dan mendapatkan seorang bujang yang selalu setia melayaninya. Semua bujang yang ada di rumah Bendoro harus tunduk dan mematuhi semua perintahnya karena sekarang dia adalah seorang first lady. Semua kemewahan tersebut tidak lantas membuat Gadis Pantai merasa nyaman. Dia masih saja merindukan orangtua dan suasana kampungnya. Semua kemewahan tersebut justru membatasi kebebasan Gadis Pantai. Tidak seperti di kampungnya di mana dia masih bebas pergi ke manapun dia suka, di kehidupan barunya ini dia malah terpenjara di rumah Bendoro. Bahkan seluruh penjuru rumah Bendoro tidak bisa secara leluasa dia jelajahi. Hanya beberapa ruangan tertentu yang boleh dimasukinya. Pada bagian ini kita akan merasakan hanya di tempat yang itu-itu saja latar ceritanya. Di bagian ini Pram seakan membukakan mata kita bahwa betapa kolotnya sistem feodalisme saat itu lewat apa yang dirasakan Gadis Pantai. Alih-alih kehidupan egaliter penuh gotong-royong dan musyawarah yang dirasakannya di kampung, di rumah Bendoro semuanya terstruktur secara hierarki. Meski posisi Gadis Pantai sebagai first lady di dalam rumah, tetap saja dia hanyalah seorang abdi bagi Bendoro yang membuatnya tidak bisa bergerak sesuka hati.

Selama proses adaptasi yang menyiksa itu Gadis Pantai selalu dihibur oleh bujangnya yang setia. Bujangnya inilah tempat curhat Gadis Pantai selama proses adaptasi tersebut. Lama-lama hubungan kedua orang ini menjadi saling menyayangi seperti ibu dan anak, bukannya seperti majikan dan bawahan. Hubungan ini yang membuat sang bujang tak sampai hati memberitahu Gadis Pantai secara gamblang bahwa pernikahannya dengan Bendoro tak lain hanya sebuah “main-main” belaka. Pernikahan seorang Bendoro dengan rakyat biasa seperti ini hanyalah sebuah ajang latihan bagi Bendoro sebelum menikah dengan seseorang yang sederajat. Malah Bendoro ini masih dianggap perjaka jika belum menikahi wanita yang sederajat, meski dia sudah berkali-kali menikah dengan wanita dari golongan rakyat biasa. Sebelum Gadis Pantai ini juga sudah ada Mas Nganten-Mas Nganten lain yang pernah tinggal di rumah Bendoro. Dan begitu Bendoro sudah merasa cukup dengan Mas Nganten tersebut, dicampakkanlah Mas Nganten tersebut seperti barang yang sudah tidak berguna saja. Meski begitu sang bujang secara implisit tetap menasihati Gadis Pantai bahwa dia harus siap menghadapi hal tersebut di masa depan.

Roman ini mungkin akan terasa datar jika Pram tidak memasukkan Mardinah ke dalam cerita. Mardinah adalah kerabat jauh Bendoro yang didatangkan dari Demak untuk menggantikan posisi bujang kesayangan Gadis Pantai yang diusir oleh Bendoro. Di sinilah konflik antara Gadis Pantai dan Mardinah muncul yang mewakili konflik antara kaum bangsawan dan rakyat biasa. Meski diposisikan sebagai bujang Gadis Pantai, Mardinah sebenarnya seorang yang terpelajar dan anak dari seorang juru tulis di Demak. Dia juga bekas istri seorang pembesar. Dialah sosok wanita bangsawan yang sesungguhnya. Sedangkan Gadis Pantai, meski menyandang gelar Mas Nganten, tetap saja adalah seorang rakyat biasa. Dari konflik-konfliknya dengan Mardinah akhirnya dia menyadari bahwa suatu hari nanti dia akan disingkirkan. Sejak saat itu dia mulai memahami nasihat-nasihat bujang kesayangannya terdahulu. Dan malangnya nasib tragis tak bisa dihindari oleh Gadis Pantai. Seperti yang diucapkan bujang kesayangannya tentang tragisnya kehidupan: Bagi seorang rakyat biasa, hidup pun sudah hukuman.

Tak salah memang jika penerbit menyatakan bahwa roman ini menusuk feodalisme Jawa yang tak beradab dan tak memiliki jiwa kemanusiaan tepat di jantungnya. Selain hal-hal yang saya jabarkan sebelumnya, roman ini secara gamblang menggambarkan diskriminasi terhadap kaum wanita di mana wanita selalu diposisikan di bawah pria. Di awal cerita juga digambarkan bahwa Gadis Pantai dinikahkan secara simbolis dengan sebilah keris yang merupakan bentuk perwujudan Bendoro. Hal ini menunjukkan betapa angkuhnya para bangsawan sehingga orang yang di bawah derajatnya hanya bernilai setara dengan sebilah keris. Semua praktik itu sangat kontradiktif dengan penggambaran tokoh Bendoro yang santun, lemah lembut, dan memiliki pemahaman mendalam terhadap agama. Dan Pram memperlihatkan itu semua lewat roman ini.

Sayangnya kita tidak akan pernah mengetahui kelanjutan kisah Gadis Pantai ini. Mungkin inilah salah satu kelemahan paling mencolok dari roman ini. Karya ini tidak utuh! Satu kelemahan lain yang cukup mengganggu saya adalah penulisan dialog dalam roman ini. Terkadang kita akan menemui hampir satu halaman penuh berisi dialog tanpa disertai keterangan siapa yang mengucapkan kalimat dialog tersebut. Apalagi jika ada dua paragraf berurutan yang ternyata kalimat dialog dari orang yang sama. Misalnya di paragraf pertama adalah kalimat dialog si A. Seharusnya kalimat dialog di paragaf kedua adalah milik si B, tapi ternyata masih milik si A tanpa disertai keterangan. Hal ini membuat kita harus lebih jeli dalam membaca dan merasakan dialog-dialog yang ditampilkan seperti itu di roman ini.

Terlepas dari kekurangan-kekurangan itu, roman ini masih sangat layak dan saya rekomendasikan untuk dibaca. Roman ini benar-benar akan memperkaya khazanah kesusastraan kita dan sejarah tatanan sosial masyarakat pribumi Nusantara, khususnya di Jawa. Benar-benar sebuah sumbangan Indonesia untuk dunia.

Gadis Pantai

oleh Pramoedya Ananta Toer

Lentera Dipantara; Cetakan VII, September 2011

Paperback; 272 halaman; 13 x 20 cm

ISBN: 978-979-97312-0-3

My Rating: 4/5

6 thoughts on “Sebuah Kritik terhadap Feodalisme Jawa

  1. dulu? di perpus sekolah? tahun berapa itu?
    bukannya buku2nya Pram itu dulu dibanned ama pemerintah ya?

    aku belum pernah baca buku2nya eka kurniawan.
    tapi ya maklum aja kalo mirip2 ma karyanya eka kurniawan.
    lha skripsinya eka kurniawan kan emang pram yang dijadiin bahan.
    mungkin dia terinspirasi pak pram.

Leave a reply to tezar Cancel reply